
GORONTALOPOST.ID – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang meminta KPU menunda proses tahapan pemilu dinilai tidak bisa dieksekusi. Hal ini karena, putusan tersebut potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
“Secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah ultra vires atau dengan kata lain beyond the power. Sehingga konsekuensi yuridis dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat null and void atau bersifat van rechtswege nietig/null end void, sehingga tidak dapat di eksekusi,” kata pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid dalam keterangannya, Jumat (3/3).
Putusan tersebut berawal dari gugatan Partai Prima, karena tidak lolos dari verifikasi administrasi partai politik peserta pemilu. Berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua jenis, yaitu pelanggaran dan sengketa.
Pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana. Sedangkan untuk sengketa, terbagi menjadi dua yaitu sengketa proses dan sengketa hasil.
“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian, jika terdapat permasalahan berupa dispute, baik pelanggaran maupun sengketa,” tegas Fahri.
Akademisi Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini berpendapat, penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN, sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU RI KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Ia menuturkan, berdasarkan Pasal 470 ayat 1 UU Pemilu, telah mengatur sengketa proses pemilu melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN) meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu, antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton peserta pemilu, maupun bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lhbupaten/Kota.
Sementara itu, Pasal 470 ayat 2 UU Pemilu telah mengatur, sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan sengketa yang timbul antara, KPU dan partai politik calon peserta pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
“Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus. Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai never existed oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” tegas Fahri.
Fahri mengutarakan, jika putusan pengadilan ini diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius, yakni potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasi. Sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.
“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar, jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” jelas Fahri.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), terkait gugatan perdata atas hasil verifikasi administrasi partai politik untuk Pemilu 2024. PN Jakpus menghukum KPU untuk menunda proses tahapan Pemilu 2024.
“Menerima gugatan penggugat (Partai Prima) untuk seluruhnya. Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat (KPU RI),” demikian bunyi putusan PN Jakpus, Rabu (2/3).
Putusan ini dibacakan pada Rabu (2/3), oleh Ketua Majelis Hakim T. Oyong dengan Hakim Anggota Bakri dan Dominggus Silaban. Serta, panitera pengganti Bobi Iskandardinata.
PN Jakpus meminta KPU sebagai pihak tergugat untuk tidak melanjutkan proses tahapan Pemilu 2024. Sehingga, KPU diminta untuk melakukan penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024, sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” pinta Hakim PN Jakpus.
Selain menunda proses tahapan Pemilu, PN Jakpus juga meminta KPU sebagai pihak tergugat untuk melakukan ganti rugi sebesar Rp 500 juta kepada pihak penggugat, dalam hal ini Partai Prima.
“Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta kepada penggugat,” demikian putusan PN Jakpus.(Jawapos)