GORONTALOPOST.ID – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang diketuai hakim Wahyu Iman Santoso, Senin (13/2), telah mengetok palu menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo, terdakwa dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
“Divonis pidana mati,” tegas Santoso, didampingi hakim anggota Morgan Simanjutak dan Alimin Ribut Sujono.
Majelis Hakim menyakini jika Ferdy Sambo ikut menembak Brigadir J. Keyakinan ini didapat berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. “Majelis hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan menggunakan senjata api jenis Glock,” kata Santoso.
Hakim juga menyakini, Sambo menembak Yosua menggunakan sarung tangan. Lalu Sambo menembak tembok dengan senjata jenis HS milik Yosua. “Dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan,” jelas Wahyu.
Majelis Hakim juga menilai motif pelecehan seksual dalam kasus pembunuhan Brigadir J tidak bisa dibuktikan. Hakim berpandangan, pembunuhan Yosua bukan karena korban membuat Putri sakit hati.
“Motif kekerasan seksual yang dilakukan korban Nofriansyah Yosua Hutabarat kepada Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum, sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menimbulkan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi,” tambahnya.
“Di mana perbuatan atau sikap tersebut yang menimbulkan sakit hati yang mendalam kepada Putri Candrawathi. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual, atau perkosaan atau perbuatan lebih dari itu kepada Putri Candrawathi sehingga untuk alasan tersebut patut dikesampingkan,” lanjutnya.
Ada beberapa alasan yang membuat hakim meragukan adanya kekerasan seksual. Di antaranya, pemeriksaan psikolog forensik tidak didukung oleh alat bukti lain, seperti rekam medis, visum dan sejenisnya.
Kemudian, Putri yang memiliki latar belakang sebagai dokter gigi tidak menerapkan standar preventif kesehatan dasar tinggi. Bahkan usai pelecehan terjadi tidak melakukan tes kesehatan.
Alasan selanjutnya, laporan polisi yang dilayangkan oleh Putri ke Polres Metro Jakarta Selatan juga telah dihentikan penyidikannya karena tidak cukup bukti. Adapula keterangan Kombes Pol Sugeng Wicaksono yang mendengar dari Ferdy Sambo bahwa kejadian di Magelang tidak pernah ada atau ilusi.
Majelis Hakim juga menilai pengakuan Putri Candrawathi yang menyatakan sebagai korban kekerasan seksual oleh Brigadir J tidak masuk akal. Sehingga motif tersebut harus dikesampingkan. “Sangat tidak masuk akal dalih korban kekerasan seksual yang disampaikan oleh Putri Candrawathi,” kata Santoso.
Keyakinan hakim berdasarkan keterangan kesaksian Ricky Rizal. Bahwa saat di Magelang setelah mengaku dilecehkan, Putri meminta Ricky memanggil Yosua. Lalu Putri dan Yosua bertemu 4 mata di dalam kamar. Sedangkan Ricky menunggu di luar.
“Bahwa dari pengertian gangguan stres pascatrauma dan tahapan proses pemulihan korban kekerasan seksual yang di atas, perilaku Putri Candrawathi yang mengaku sebagai korban justru bertentangan dengan profil korban menuju proses pemulihan,” kata Santoso.
“Tindakan Putri memanggil dan menemui almarhum Yosua di kamarnya adalah terlalu cepat untuk seorang korban kekerasan seksual terhadap pelaku kekerasan seksual tersebut. Trauma akibat tindak pidana kekerasan seksual proses pemulihannya memerlukan waktu yang cukup panjang, tidak bisa sekejap. Bahkan, tidak jarang ada korban menyerah sehingga korban mengakhiri hidupnya,” lanjutnya.
Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup. Sambo dianggap bersalah melakukan dua pelanggaran dalam kasus pembunuhan kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Pelanggaran pertama yakni terkait pembunuhan berencana, dan kedua adalah merintangi penyidik atau obstruction of justice.
Pada persidangan Selasa (17/1), Jaksa penuntut umum memohon kepaada majelis hakim PN Jaksel yang memeriksa perkara terdakwa Ferdy Sambo agar menyatakan terdakwa Ferdy Sambo secara sah dan menyakinkan melakukan tidak pidana pembunuhan berencana sebagaimana pasal 340 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa menyatakan telah terbukti melakukan tanpa hak atau melawan hukum yang membuat sistem elektronik tidak bekerja semestinya. Jaksa meminta hakim menjatuhkan pidana terdakwa dengan pidana seumur hidup.
Sementara, hal-hal yang memberatkan Sambo yakni perbuatan terdakwa menghilangkan nyawa dan duka keluarga yang mendalam. Terdakwa berbelit dan tidak mengakui perbuatannya. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Perbuatan terdakwa tidak sepantasnya sebagaimana penegak hukum dan kedudukannya sebagai petinggi Polri. Tindakan Sambo mencoreng institusi Polri dan banyak anggota Polri menjadi terlibat. Sedangkan hal meringankan tidak ada.(jpc/tan)