GORONTALOPOST.ID– Aliansi mahasiswa dari berbagai kampus di Jabodetabek kembali turun ke jalan kemarin (21/4). Demonstrasi bertajuk aksi 21 April itu dilakukan sebagai respon atas berbagai persoalan yang muncul. Mulai dari kenaikan harga sembako hingga terus bergulirnya isu perpanjangan presiden.
Aksi yang berlangsung sejak pukul 13.55 WIB tersebut diikuti oleh ratusan mahasiswa yang sejak pagi sudah berkumpul di Parkir IRTI Monas, Jakarta. Awalnya, mahasiswa mengincar jalanan depan Istana Merdeka sebagai pusat aksinya.
Namun, akses menuju istana ditutup oleh aparat keamanan. Mahasiswa yang unggul jumlah massa sempat berhasil menjebol barikade puluhan polisi yang berbaris di persimpangan patung kuda. Tapi masa gagal merangsak ke jalan Merdeka Barat usai polisi memasang kawat berduri setinggi hampir dua meter.
Alhasil, mahasiswa tak berkutik dan terpaksa melakukan aksinya di sekitaran Patung Kuda, Monas. Dalam aksi tersebut, masing-masing dari presiden BEM kampus menyampaikan aspirasinya.
Total, ada tujuh tuntutan yang disampaikan. Yakni tindak tegas para penjahat konstitusi dan tolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden, turunkan harga kebutuhan pokok dan atasi ketimpangan ekonomi, serta hentikan segala tindakan represif terhadap masyarakat sipil dengan mekanisme yang ketat dan tidak diskriminatif.
Kemudian mereka juga menuntut diwujudkan pendidikan ilmiah, gratis, dan demokratis, sahkan RUU pro rakyat dan tolak RUU pro oligarki, wujudkan reforma agraria sejati, serta tuntaskan seluruh pelanggaran HAM. Orasi dilakukan hingga massa membubarkan diri pada pukul 17.00
Usai aksi, Ketua BEM UI Bayu Satria mengaku kecewa dengan perlakuan aparat dan istana yang tidak memberikan akses. Padahal, pihaknya berharap bisa menyampaikan langsung aspirasi kepada Presiden Joko Widodo. “Hari ini kita memang tidak bertemu dengan bapak Joko Widodo atau bapak Maruf Amin, tapi bukan berarti perjuangan kita hari ini gagal,” ujarnya.
Atas kekecewaan itu, Bayu mengisyaratkan aksi kemarin bukan yang terakhir. Mahasiswa akan terus berupaya menyuarakan aspirasi selama situasi nasional belum terkendali. “Kita akan terus bergerak dan kita tidak akan diam saat negara kita sedang tidak baik-baik saja,” imbuhnya.
Sementara itu, saat ditemui di sela-sela aksi, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan, pelarangan akses ke Istana Negara sudah sesuai dengan izin. Saat menyampaikan surat pemberitahuan, mahasiswa akan menyampaikan aksi di Patung Kuda Monas. “Pemberitahuan yang disampaikan kepada kita adalah melakukan aksi disini (patung kuda),” ujarnya.
Zulpan menambahkan, pihaknya berupaya menjaga agar pelaksanaan aksi 21 April berjalan lancar. Salah satu upayanya dengan melakukan filterisasi agar tidak terjadi penyusupan oleh kelompok yang memiliki agenda lain. “Yang ada disini adalah yang sudah menyampaikan pemberitahuan sebelumnya,” jelasnya.
Terpisah, Sementara itu, aktivis hukum dan hak asasi manusia (HAM) Asfinawati meminta aparat penegak hukum segera mengusut tindakan peretasan dan sabotase akun media sosial (medsos) sejumlah mahasiswa dan masyarakat sipil. Salah satunya pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti. “Harus diusut, ini bukan delik aduan,” ujarnya.
Bivitri mengalami peretasan pada Rabu (20/4) lalu. WhatsApp pakar hukum tata negara itu diretas oleh pihak tidak bertanggung jawab. Begitu pula akun Instagram milik Bivitri. Bahkan Instagram Bivitri sempat diambilalih dan mengunggah postingan palsu. Pembajakan akun itu terjadi bersamaan dengan peretasan yang dialami sejumlah mahasiswa.
Asfin menuturkan selama ini pelaku pembajakan akun medsos itu tidak pernah diusut. Apalagi ditangkap. Padahal, perbuatan peretasan itu sudah jelas melanggar hukum. “Kalau dilihat dari target, pelaku menyasar orang-orang yang sedang atau setelah merespon sebuah isu, jelas ini menyasar orang yang kritis kepada kebijakan ngawur pemerintah atau negara,” paparnya.
Pola peretasan itu hampir sama dengan yang dialami masyarakat sipil pada 2019 dan 2020 lalu. Di mana masyarakat sipil pada saat itu mengkritik kebijakan pemerintah terkait revisi UU KPK dan Omnibus Law. “Polanya (peretasan, Red) berulang sejak 2019,” imbuh mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu. (far/tyo/jawapos)