GORONTALOPOST.ID-Informasi ini datang dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti. Mereka mengungkap adanya dugaan diskriminasi di SDN 051 Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Dugaan diskriminasi tersebut lantaran tiga siswa kakak beradik yang menganut kepercayaan Saksi Yehuwa tidak naik kelas 3 tahun berturut-turut. Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Tarakan, Muhammad Haris menyampaikan jika pihaknya menduga kasus ini memiliki hubungan terhadap kasus penolakan penghormatan bendera oleh siswa beberapa waktu lalu. Kata dia, harusnya itu tak menjadi alasan yang mengakibatkan tiga anak tersebut tak naik kelas. "Saya pikir ini ada hubungannya dengan kasus penolakan penghormatan bendera merah putih beberapa tahun lalu. Sebenarnya kasus ini sudah sejak 2019 dan sudah sampai ke PTUN, memang kasus ini cukup dilematis. Kesbangpol juga memiliki tim Pakem, kondisi terakhir kami belum mendengar persoalan ini (tidak naik kelas)," ujarnya, Senin (22/11). Kesbangpol memiliki tanggung jawab moril dalam menangani persoalan ini. Namun, terkait hak anak dalam belajar menurutnya hal itu tetap harus berjalan. Mengingat semua anak dan warga negara memiliki hak mendapatkan pendidikan yang layak. "Secara moril kami memiliki tanggung jawab, prosesnya juga masih berjalan. Tapi dengan adanya kabar siswa ini sampai tidak naik kelas 3 tahun berturut-turut kami pikir ini merupakan ranah Disdikbud Tarakan atau Dinas Perlindungan Anak karena ini sudah menyangkut hak anak mendapatkan pendidikan yang layak," tuturnya. Sementara itu, Kepala Sekolah SD Negeri 051 Tarakan, FE Hasto Budi Santoso mengatakan solusi pertama yang pihaknya tawarkan adalah ketiga siswa tersebut mengundurkan diri dari sekolah dan mendaftar ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) guna mengejar Paket A. "Solusi yang bisa saya berikan yang tidak melanggar hukum yang pertama ketiga anak itu mengundurkan diri dari sekolah terus masuk ke PKBM," kata Hasto saat dilansir dari CNNIndonesia.com, Senin (22/11). Menurut Hasto, pihak sekolah yang akan mengurus pendaftaran ke PKBM sehingga dua dari anak tersebut, yakni M (14) kelas 5 SD dan Y (13) kelas 4 SD bisa lulus pada Juni 2022. Tawaran ini diajukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan usia anak sekolah pada umumnya, M dan Y sudah memasuki usia SMP. "Kami yang ngurus supaya yang tahun ini yang dua bisa lulus karena yang anak pertama dan kedua itu seharusnya sudah SMP kelas 8 dan kelas 7," kata Hasto. Hasto menjelaskan PKBM merupakan lembaga resmi pemerintah di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Lembaga ini dilindungi negara dan semua siswanya dilaporkan dengan baik ke Kementerian tersebut. "Cuma sebenarnya sasaran mereka ya itu anak-anak putus sekolah, anak-anak bermasalah sehingga dia tidak bisa lagi masuk ke sekolah umum karena usianya sudah lewat misalnya," jelas Hasto. Solusi kedua yang ditawarkan sekolah, kata Hasto, ketiga anak tersebut tetap terdaftar sebagai peserta didik SD Negeri 051 Tarakan dan tetap belajar sebagaimana di kelas mereka saat ini. Jika tawaran kedua ini diambil, kata Hasto, M (14) yang duduk di kelas 5 harus belajar satu tahun lagi, Y (13) yang duduk di kelas 4 belajar 2 tahun lagi, dan YT (11) yang duduk di kelas 2 harus belajar 4 tahun lagi di sekolah itu sehingga mereka bisa lulus SD meskipun usianya terlalu tua dua tahun. "Si orang tua akan memilih yang kedua cuma belum diputuskan karena kebetulan tadi pagi bapaknya itu menghadap saya karena saya panggil kan," kata Hasto. Hasto tidak mengetahui alasan orang tua ketiga anak tersebut memilih tawaran yang kedua. Ia mengatakan ketiga anak itu tetap harus mengikuti pelajaran agama Kristen yang disediakan di sekolah. Standar nilai kognitif, psikomotorik, dan afektif, kata Hasto juga harus tetap dipenuhi oleh anak-anak tersebut. "Kalau dia mengikuti semua kegiatan kan pasti terpenuhi bahkan terlampaui, bukan hanya terpenuhi. Pasti itu," kata Hasto. Ia menyatakan pihak sekolah akan mendiskusikan hal ini dengan guru agama dan orang tua tiga siswa itu agar mereka menurunkan standarnya dan menemukan jalan tengah. "Pokoknya di sekolah ikut saja pelajaran agama di rumah mau sembahyang dengan caramu itu bukan urusan sekolah, hak masing-masing," jelasnya. Hasto mengaku belum genap dua bulan menjabat kepala sekolah SD Negeri 051 Tarakan. Begitu mendengar persoalan tersebut, ia mengaku segera mencari solusi agar nasib ketiga anak tersebut bisa diselamatkan. Kepada orang tua ketiga anak itu, Hasto juga mengaku prihatin. Ia menyatakan tidak akan mencampuri proses hukum yang berjalan di PTUN setempat dan fokus pada upaya penyelamatan tiga anak itu. "Tentang perkara yang sudah masuk ke persidangan saya nggak mau mencampuri biarlah prosesnya berjalan tapi kita bisa bicara dari hati ke hati bagaimana menyelamatkan anak-anak bapak," ujarnya. Sebelumnya, Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengatakan pihaknya menerima aduan dari orang tua tiga bersaudara yang bersekolah di salah satu SD Negeri di Tarakan, Kaltara. Ketiganya tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut. Karena tinggal kelas selama tiga tahun berturut-turut, kata Retno, kondisi psikologis ketiga anak tersebut sangat terpukul. Mereka sudah mulai kehilangan semangat belajar dan malu dengan teman-temannya. Retno mengatakan persoalan yang menimpa ketiga anak itu bukan karena mereka tidak pandai secara akademik, melainkan perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah atas keyakinan yang mereka anut. "Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen Kemendikbud Ristek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya," tutur Retno.(prokal/cnn)